Bab 4
Definisi hukum perikatan
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Perbuatan,
- Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
- Mengikatkan dirinya,
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Cakap untuk membuat perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab atau causa yang halal.
Perikatan dalam
bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai
dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat
berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP
perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
a.
Perikatan terjadi
karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul
dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu
yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang
tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga
yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar
dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi
karena undang-undang akibat perbuatan manusia
Azas-azas
dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan
diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan
azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme,
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara
para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP
Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para
pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian
harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang
akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang
halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul
apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman
atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian
yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
2. Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
3. Peralihan Risiko
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa
hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada
10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi adalah suatu
persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam novasi
yaitu :
1) Novasi obyektif,
dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif
pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya
perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing
merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua
orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua
orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua
mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal
1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan
sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut
dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp.
400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh
Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
- Berpokok sejumlah
barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan
ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat
ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan
utang
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan
hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja
diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa
pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur.
Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH
Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan
utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh
seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu
perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti
telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang
perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar
salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok
pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan
dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya
maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua
hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi
hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B
tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum.
Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan
perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap
berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual
dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi
kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur
dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan.
Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika
undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang
membatalkan
Yang dimaksud dengan
syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada
asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan
yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata,
lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal
tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu
untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive
prescription”;
(2). Lampau waktu
untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut
”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu
”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja
istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
Bab 5
Hukum Perjanjian
A.
Pengertian Perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW).
Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
Penggunaan
kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti
dengan kataperbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
Untuk
adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama
lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
Di
dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.
B.
Syarat sahnya Perjanjian
Agar
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
Kata
“sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang
menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya
paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324
BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya
tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
Para
pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa
para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak
stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu
perjanjian.
Pasal
1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a.
Orang-orang yang belum dewasa
b.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat
dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
Perjanjian
harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian
itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334
BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
Sahnya
causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam
melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan)
dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
-
TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier
sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur
paksaan terhadap kedua belah pihak.
-
TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena
perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
-
Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
-
Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk
kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk
membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
Dari
uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di
atas tidak Terpenuhi ?
Ada
dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.
Pasal
1331 (1) KUH Perdata:
Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada
atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian
tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah
ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan
hakim. Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti
perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah
pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh
pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain,
apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat
para pihak.
Kapan
perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada
prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa
perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada
saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku menyatakan bahwa ia akan
mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak ia menyatakan
kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan bila pada
saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis.
Satu
persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu
pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada
4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2.
Dilakukan pembatalan perjanjian
3.
Peralihan resiko
4.
Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari
pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila
yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan
pembuktian di depan pengadilan.
Sebelum
kita melangkah pada proses pembuktian di pengadilan, terdapat langkah-langkah
yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan atau teguran, yang
biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman
penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.
Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan
dengan penafsiran.
2.
Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh
kedua pihak, dari pada memegang teguh arti kata-kata
3.
Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang
memungkinkan janji dilaksanakan
4.
Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras
dengan sifat perjanjian
5.
Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6.
Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya
C.
Akibat Perjanjian
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak,
akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu.
Perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Suatu
perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
D.
Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian
berakhir karena :
a.
Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b.
Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c.
Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d.
Tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa
tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
Keadaan memaksa absolut·
Suatu
keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada
kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force
majeur).
Akibat
keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a.
Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b.
Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang
disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c.
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu
harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan
tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak
mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan
kewajiban kreditur dan debitur.
d.
Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara
misalnya perjanjian kerja;
e.
Putusan hakim;
f.
Tujuan perjanjian telah tercapai;
g.
Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Ditinjau
dari Hukum Publik
A.
Pengertian Perjanjian
Dalam
Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian
Internasional. Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian
internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan
dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan
sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara
atau subjek hukum internasional lainnya.
Sampai
tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh
hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi
Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina
dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22
Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian
melahirkanVienna Convention on the Law of Treaties yang
ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27
Januari
1980 dan merupakan hukum internasional positif. Pasal 2 Konvensi Wina 1969
mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang
dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian
diatas mengandung unsur :
a.
Adanya subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan
gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum
internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat
perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina.
Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian
dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari negara-negara
anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang kewenangan
organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6
Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat
selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui
terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya
keikutsertaan gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan
gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b.
Rezim hukum internasional.
Perjanjian
internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada
suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau
organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional
tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.
B.
Syarat sahnya perjanjian
Berbeda
dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak
adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan
kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian
itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum
melakukan ratifikasi.
Tahapan
pembuatan perjanjian meliputi :
a.
Perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral
maupun multilateral;
b.
Penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi
naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan
dari semua peserta melalui pemungutan suara;
c.
Kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu
tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima
konferensi.
Pasal
10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d.
Persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam
cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a)
Penandatanganan,
Pasal
12 Konvensi Wina menyatakan :
-
persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk
tandatangan wakil negara tersebut; – bila perjanjian itu sendiri yang
menyatakannya;
-
bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui
demikian;
-
bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan
jelas pada waktu perundingan.
b)
Pengesahan,
Melalui
ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di
negara anggota.
C.
Akibat perjanjian
1)
Bagi negara pihak :
Pasal
26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat
negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good
faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya.
Daya
ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2)
Bagi negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang
tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian
internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan
mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai
akibat
pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6)
Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus
bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk
perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal
35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan
akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana
persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
D.
Berakhirnya perjanjian
(1)
Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2)
Atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3)
Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma
hukum internasional yang baru, perang.
II.
Kesimpulan
Perjanjian,
baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan
perjanjian yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua
belah pihak, dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua
belah pihak namun juga pihak ketiga.
Selain
itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau badan
hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek
hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan.
Perbedaan
Perikatan dan Perjanjian
Pada
prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain
berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Berangkat
dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan
menimbulkan perikatan.
Bab 6 &7
Hukum Dagang
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur
soal-soal perniagaan/perdagangan, ialah yang timbul karena tingkah laku manusia
(person) dalam perdagangan/ perniagaan[1].
Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita
kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang
sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan
diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa
hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama
bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel
Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek
Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan,
yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan
perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.[2]
Sebelum tahun 1938 Hukum Dagang hanya mengikat kepada para pedagang saja
yang melakukan perbuatan dagang, tetapi sejak tahun 1938 pengertian Perbuatan
Dagang, dirubah menjadi perbuatan Perusahaan yang artinya menjadi lebih luas
sehingga berlaku bagi setiap pengusaha (perusahaan).
Para sarjana tidak satu pun memberikan pengertian tentang perusahaan,
pengertian dapat dipahami dari pendapat antara lain :
1.Menurut Hukum, Perusahaan adalah
mereka yang melakukan sesuatu untuk mencari keuntungan dengan menggunakan banyak modal
(dalam arti luas), tenaga kerja, yang dilakukan secara terus – menerus dan
terang – terangan untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperniagakan
barang – barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
2. Menurut Mahkamah Agung (Hoge
Read), perusahaan adalah seseorang yang mempunyai perusahaan, jika secara
teratur melakukan perbuatan – perbuatan yang bersangkutpaut dengan perniagaan
dan perjanjian.
3.
Menurut Molengraff, mengartikan perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah
keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus – menerus, bertindakkeluar,
untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperdagangkan perjanjian –
perjanjian perdagangan.
2.1 Kedudukan Hukum Dagang
Sejak zaman Romawi perdagangan,
perdagangan sudah berkembang dengan pesatnya, sehingga dengan demikian sehingga
dengan demikian diperlukan pula pengaturan yang tepat untuk dapat mengikuti
perkebmbangan yang serba dinamis itu. Timbulnya pengaturan baru ini akan
menimbulkan suatu perubahan pula dalam hukum Perdata Romawi yang telah ada.
Sehingga, akhirnya terbentuklah sebuah kitab undang-undang yang baru yang
kemudian bernama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pemisahan hukum perdata dalam dua
buah bagian itu yang terdiri atas hukum perdata dan hukum dagang diambil alih
oleh tata hukum Prancis yang hukumnya sangat berbau Romawi. Sistem tata hukum
Prancis akhirnya diambil oleh Belanda dan berdasarkan asas
konkordansi/concordantie baginsel berlakulah pula sistem hukum Belanda itu di
Indonesia. Maka dari itu sampai saat ini hukum Perdata di Indonesia terbagi
pula dalam dua buah bagian yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/KUHS atau
Burgerlijk Wetbork/BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang/KUHD atau Wetboek
van Koophandel/WvK.
Hukum dagang itu merupakan bagian
khusus dari hukum perdata adalah sangat penting, karena mempelajari hukum dagang
tanpa mengetahui pengertian-pengertian keperdataan yang tercakup dalam sumber
hukumnya termuat dalam KUH perdata tidaklah mungkin.[3]
Hukum Dagang adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari hukum perikatan, karena hokum perikatan adalah hukum
yang terdapat dalam masyarakat umum maupun dalam perdagangan.[4]
Prof. Subekti berpendapat bahwa
terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya.
Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain
itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian
perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah
saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan
seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru
berkembang dalam abad pertengahan.[5]
Para sarjana tidak satu pun
memberikan pengertian tentang perusahaan, pengertian dapat dipahami dari
pendapat antara lain :
Menurut Hukum, Perusahaan adalah mereka
yang melakukan sesuatu untuk mencari keuntungan dengan menggunakan banyak modal
(dalam arti luas), tenaga kerja, yang dilakukan secara terus – menerus dan
terang – terangan untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperniagakan
barang – barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
Menurut Mahkamah Agung (Hoge Read),
perusahaan adalah seseorang yang mempunyai perusahaan, jika secara teratur
melakukan perbuatan – perbuatan yang bersangkutpaut dengan perniagaan dan
perjanjian.
2.2 Hubungan Pengusaha Dengan
Pembantu-Pembantunya
Seorang pedagang, terutama seorang yang menjalankan perusahaan yang
besar dan berarti, biasanya tidak dapat bekerja seorang diri. Dalam
melaksanakan perusahaannya, ia memerlukan bantuan orang-orang yang bekerja
padanya sebagai bawahan, ataupun orang yang berdiri sendiri dan mempunyai
perusahaan sendiri dan yang mempunyai perhubungan tetap ataupun tidak tetap
dengan dia.
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :
1. Membantu didalam perusahaan
2. Membantu diluar perusahaan
Sebagai akibat dari pertumbuhan
perdagangan yang demikian pesat dewasa ini, pengusaha-pengusaha kebanyakan
tidak lagi berusaha seorang diri, melainkan bersatu dalam
persekutuan-persekutuan atau perseroan-perseroan yang menempati gedung-gedung
untuk kantornya dengan sedikit atau banyak pegawai. Kemudian dibedakanlah
antara perusahaan kecil, sedang dan besar. Pada tiap-tiap toko dapat dilihat
aneka warna pekerja-pekerja seperti para penjual, penerima uang, pengepak,
pembungkus barang-barang, dan sebagaiinya. Dan kesemuanya tersebut telah ada
pembagian pekerjaan, sebab seorang tidak dapa melaksanakan seluruh pekerjaan.
Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan
perusahaannya. Dalam menjalankan perusahannya pengusaha dapat:
• Melakukan sendiri, Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua
pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan
perusahaan perseorangan.
• Dibantu oleh orang lain, Pengusaha turut serta dalam melakukan
perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan
pemimpin perusahaan dan merupakan perusahaan besar.
• Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta
dalam melakukan perusahaan, Hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang
pengusaha dan merupakan perusahaan besar
Sebuah perusahaan dapat dikerjakan
oleh seseorang pengusaha atau beberapa orang pengusaha dalam bentuk kerjasama.
Dalam menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendirian atau
dapat dibantu oleh orang-orang lain disebut “pembantu-pembantu perusahaan”.
Orang-orang perantara ini dapat dibagi dalam dua golongan. Golongan pertama
terdiri dari orang-orang yang sebenarnya hanya buruh atau pekerja saja dalam
pengertian BW dan lazimnya juga dinamakan handels-bedienden. Dalam golongan ini
termasuk, misal pelayan, pemegang buku, kassier, procuratie houder dan
sebagainya. Golongan kedua terdiri dari orang-orang yang tidak dapat dikatakan
bekerja pada seorang majikan, tetapi dapat dipandang sebagai seorang lasthebber
dalam pengertian BW.
Dalam golongan ini termasuk makelar,
komissioner.
1) Adapun pembantu-pembantu dalam
perusahaan antara lain:
a) Pelayan toko adalah semua pelayan yang
membantu pengusaha dalam menjalankan perusahaannya di toko, misalnya pelayan
penjual, pelayan penerima uang (kasir), pelayan pembukuan, pelayan penyerah
barang dan lain-lain.
b) Pekerja keliling ialah pembantu pengusaha yang bekerja keliling
diluar kantor untuk memperluas dan memperbanyak perjanjian-perjanjian jual beli
antara majikan (pengusaha)dan pihak ketiga.
c) Pengurus filial ialah petugas yang mewakili pengusaha mengenai semua
hal, tetapi terbatas pada satu cabang perusahaan atau satu daerah tertentu.
d) Pemegang prokurasi ialah pemegang
kuasa dari perusahaan. Dia adalah wakil pimpinan perusahaan atau wakil manager,
dan dapat mempunyai kedudukan sebagai kepala satu bagian besar dari perusahaan
itu. Ia juga dapat dipandang berkuasa untuk beberapa tindakan yang timbul dari
perusahaan itu, seperti mewakili perusahaan itu di muka hakim, meminjam uang,
menarik dan mengakseptir surat wesel, mewakili pengusaha dalam hal
menandatanganu perjanjian dagang, dan lain-lain.
e) Pimpinan perusahaan ialah
pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan. Dia adalah yang mengemudikan
seluruh perusahaan. Dia adalah yang bertanggung jawab tentang maju dan
mundurnya perusahaan.Dia bertanggung jawab penuh atas kemajuan dan kemunduran
perusahaan. Pada perusahaan besar, pemimpin perusahaan berbentuk dewan pimpinan
yang disebut Direksi yang diketuai oleh seorang Direktur Utama.
Hubungan hukum antara pimpinan
perusahaan dengan pengusaha bersifat :
1. Hubungan perburuhan, yaitu hubungan
yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang memerintah dan yang diperintah.
Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya,
sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upahnya (pasal 1601 a
KUHPER).
2. Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu
hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai
berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas
nama pemberi kuasa menyelenggarakan
suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager
merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri untuk melaksakan
perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi kuasa mengikatkan diri untuk
memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.
Dua sifat hukum tersebut di atas
tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan dan pengusaha, tetapi juga berlaku
bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan, yakni: pemegang prokurasi,
pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko. Karena hubungan hukum
tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c KUHPER, yang menentukan
bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan mengenai perburuhan berlaku
padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlaku
peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal 1601 c ayat (1) KUHPER.
2) Adapun pembantu-pembantu luar
perusahaan antara lain:
a. Agen perusahaan
Agen perusahaan adalah orang yang
melayani beberapa pengusaha sebagai perantara pihak ketiga. Orang ini mempunyai
hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk mengadakan dan
selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga.
Perbedaan antara agen perusahaan dan
pekerja keliling adalah pada hubungan kerja dan tempat kedudukan, seperti
diuraikan berikut:
• Pekerja keliling mempunyai
hubungan hukum tenaga kerja dengan pengusaha (majikan), sedangkan agen
perusahaan mempunyai hubungan hukum pemberian kuasa dengan perusahaan yang
diageninya.
• Pekerja keliling adalah karyawan
perusahaan majikan¬nya, dia tidak berdiri sendiri dan berkedudukan di tempat
kedudukan perusahaan, sedangkan agen perusahaan bukan bagian dari perusahaan
yang diageninya, melainkan perusahaan yang berdiri sendiri.
Hubungan pengusaha dengan agen
perusahaan adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan
pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen perusahaan juga
mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi kuasa. Perjanjian pemberian kuasa
diatur dalam Bab XVI, Buku II, KUHPER, mulai dengan pasal 1792, sampai dengan
1819. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (volmacht) bagi
pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER).
Dalam hal ini agen perusahaan
sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama
pengusaha.
b. Perusahaan perbankan
Perusahaan perbankan adalah lembaga
keuangan yang mewakili pengusaha untuk melakukan :
• Pembayaran kepada pihak ketiga
• Penerimaan uang dari pihak ketiga
• Penyimpanan uang milik pengusaha
selaku nasabah
Pengacara ialah orang yang mewakili pengusaha ini dalam berperkara di
muka hakim. Dalam mewakili pengusa ini pengacara tidak hanya terbatas dimuka
hakim saja, juga mengenai segala persoalan hukum di luar hakim. Hubungan antara
pengacara dengan pengusaha adalah hubungan tidak tetap, sedang sifat hukumnya
berbentuk pelayanan berkala dan pemberian keputusan.
d. Notaris
Seorang notaris dapat membantu
pengusaha dalam membuat perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan notaris dengan
pengusaha bersifat tidak tetap, sebagai juga halnya dengan pegacara hubungan
hukumnya bersifat pelayan berkala dan pemberian kekuasaan. Notaris adalah
pejabat umum, khusus berwenang untuk membuat akte mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan penetapan, yang dipertahkan oleh peraturan umum atau yang
diinginkan oleh yang berkepentingan, agar dapat ternyata pada akta otentik itu
tentang kepastian tanggal, menyimpan akta dan menerbitkan grossen, turunan dan
kutipan, semua itu bila pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak dibebankan
atau dijadikan kepada pejabat atau orang lain.
e. Makelar
Menurut pengertian Undang-undang, seorang makelar pada pokoknya adalah
seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ke tiga untuk
mengadakan berbagai perjanjian. Makelar mempunyai ciri khusus, yaitu:
1. Makelar harus mendapat
pengangkatan resmi dari pemerintah (c.q. Mentri Kehakiman) – (pasal 62 ayat
2. Sebelum menjalankan tugasnya,
makelar harus bersumpah di muka Ketua Pengadilan Negeri, bahwa dia akan
menjalankan kewajibannyadengan baik (pasal 62 ayat (1)
Mengenai makelar diatur dalam KUHD,
buku 1, pasal 62 sampai 72, dan menurut pasal 62 ayat (1) makelar mendapat
upahnya yang disebut provisi atau courtage. Sebagai perantara atau pembantu
pengusaha, makelar mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha (pasal
62 ayat (1)). Hubungan ini tidak sama halnya dengan pengacara, tetapi lain
dengan hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha. Adapun sifat hukum
dari hubungan tersebut adalah campuran yaitu sebagai pelayan berkala dan
pemberian kuasa.
Makelar dan agen perusahaan
kedua-duanya berfungsi se¬bagai wakil pengusaha terhadap pihak ketiga.
Akan
tetapi, antara keduanya terdapat perbedaan pokok dilihat dan segi:
• Hubungan dengan pengusaha: makelar
mempunyai hubungan tidak tetap, sedangkan agen perusahaan mempunyai hubungan
tetap.
• Bidang usaha yang dijalankan:
makelar dilarang ber¬usaha dalam bidang mana dia diangkat dan dilarang menjadi
penjamin dalam perjanjian yang dibuat dengan pengantaraannya, sedangkan agen
perusahaan tidak dilarang.
• Formalitas menjalankan perusahaan:
makelar diangkat oleh Menteri Kehakiman dan disumpah, sedangkan agen perusahaan
tidak. Akan tetapi, sekarang formalitas ini tidak relevan lagi.
f. Komisioner
Mengenai komisioner diatur dalam
pasal 76 sampai dengan pasal 85 KUHD. Dalam pasal 76 KUHD dirumuskan, bahwa
komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan
perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama firma dia sendiri, tetapi
atas amanat dan taggungan orang lain dan dengan menerima upah atau provisi
(komisi) tertentu.
Adapun ciri-ciri khas komisioner
ialah:
1) Tidak ada syarat pengangkatan
resmi dan penyumpahan sebagai halnya makelar
2) Komisioner menghubungkan komitetn
dengan pihak ketiga atas namanya sendiri (pasal 76)
3) Komisioner tidak berkewajiban
untuk menyebut namnay komiten (pasal 77 ayat (1)). Dia disini menjadi
pihak
dalam perjanjian (pasal 77 ayat (2)
4) Tetapi komisioner juga dapat
bertindak atas pemberi kuasanya (pasal 79). Dalam hal ini maka dia tunduk pada
Bab XVI, buku II KUHPER tentang pemberian kuasa, mulai pasal 1972 dan
seterusnya. Konisioner mempunyai hubungan kerja tidak tetap dan koordinatif
dengan pengusaha.
Pengusaha dan Kewajibannya
Kewajiban adalah pembatasan atau
beban yang timbul karena hubungan dengan sesama atau dengan negara. Maka dalam
perdagangan timbul pula hak dan kewajiban pada pelaku-pelaku dagang tersebut
1. Hak dan Kewajiban pengusaha
adalah
a. Berhak sepenuhnya atas hasil
kerja pekerja.
b. Berhak melaksanakan tata tertib
kerja yang telah dibuat.
c. Memberikan pelatihan kerja (pasal
12)
d. Memberikan ijin kepada buruh
untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya (pasal 80)
e. Dilarang memperkerjakan buruh
lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
(pasal 77)
f. Tidak boleh mengadakan
diskriminasi upah laki/laki dan perempuan;
g. Bagi perusahaan yang
memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
h. Wajib membayar upah pekerja pada
saat istirahat / libur pada hari libur resmi
i. Wajib memberikan Tunjangan Hari
Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus
menerus atau lebih
j. Pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum (pasal 90)
k. Wajib mengikutsertakan dalam
program Jamsostek (pasal 99)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar